Tahap 2: Ka-Manusaan (Aksi Etis)

Jika Tahap 1 adalah tentang menemukan kesadaran internal (KURING), Tahap 2 adalah tentang memanifestasikan kesadaran itu sebagai aksi eksternal (WELAS ASIH). Kesadaran sejati tidak berakhir di dalam diri; ia wajib bermanifestasi sebagai aksi yang adil dan beradab.

Istilah KA-MANUSAAN memiliki makna ganda: (1) KAMA-NUSA, kesadaran bahwa tubuh (Raga) kita berasal dari saripati (Kama) Tanah Air (Nusa), dan (2) KA-MANUSA, kewajiban untuk bertindak welas asih sebagai konsekuensi logis dari kesadaran Ilahi (Tahap 1).

Prinsip utamanya adalah: "MANDANG KA DIRI BATUR SACARA DIRINA PRIBADI" (memandang diri orang lain sebagaimana memandang diri sendiri). Ini bukan sekadar ajaran moral, tapi sebuah realisasi filosofis bahwa "orang lain" pada hakikatnya adalah manifestasi dari esensi universal (KURING) yang sama dengan diri kita.


LANDASAN KESETARAAN: AJI DIPA (ILMU YANG RATA)

Sebelum melangkah ke aksi etis, kita harus memahami landasan kesetaraan. AJI DIPA (Ilmu yang Rata/Setara) adalah sebuah konsep ontologis yang menyatakan bahwa semua manusia pada hakikatnya setara, bukan karena politik, tetapi karena tersusun dari tiga komponen fundamental yang sama:

  • Raga (Wadah/Kurung): Fisik yang fana.
  • Rasa (Batin): Esensi perasaan dan pikiran.
  • Kaula/Kuring (Diri Sejati): Kesadaran murni yang mengamati.

Perbedaan suku, agama, atau status sosial menjadi superfisial jika dibandingkan dengan kesamaan hakiki ini. Inilah fondasi humanisme budaya spiritual Sunda.

Interaksi antar manusia yang berdaulat (berbasis Aji Dipa) memiliki satu undang-undang dasar moral yang fundamental, yang digali dari naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK): "TEU SUDI NGAJAJAH, TEU SUDI DIJAJAH" (Tidak sudi menjajah, tidak sudi dijajah). Prinsip ini adalah jembatan moral pertama antara kedaulatan internal (Tahap 1) dan harmoni eksternal (Tahap 2).


ARSITEKTUR HARMONI SOSIAL: DASAPREBAKTI

Jika AJI DIPA adalah fondasi individu, DASAPREBAKTI (Sepuluh Bakti) adalah arsitektur untuk harmoni sosialnya. Di era modern yang terobsesi menuntut HAK, kearifan ini menawarkan paradigma tandingan: membangun hubungan yang sehat dimulai dari pemenuhan KEWAJIBAN.

Dasaprebakti (dari naskah SSK) bukanlah hierarki kaku, melainkan sebuah MATRIKS TANGGUNG JAWAB TIMBAL BALIK (RESIPROKAL) yang menciptakan masyarakat berkepercayaan tinggi (high-trust society). Kesepuluh bakti tersebut adalah:

  1. Anak bakti ka bapa. (Anak berbakti kepada ayah/orang tua)
  2. Ewe bakti ka laki. (Istri berbakti kepada suami/pasangan)
  3. Hulun bakti ka gusti. (Hamba/bawahan berbakti kepada atasan/pemimpin)
  4. Siswa bakti ka guru. (Siswa/murid berbakti kepada guru)
  5. Tani bakti ka wado. (Petani berbakti kepada petugas/prajurit)
  6. Wado bakti ka mantri. (Wado berbakti kepada mantri/pejabat)
  7. Mantri bakti ka nu nangganan. (Mantri berbakti kepada pemegang mandat)
  8. Nu nangganan bakti ka mangkubumi. (Pemegang mandat berbakti kepada mangkubumi)
  9. Mangkubumi bakti ka ratu. (Mangkubumi berbakti kepada raja)
  10. Ratu bakti ka dewata. (Raja berbakti kepada dewata/Tuhan YME)

Tatanan sosial yang adil tidak dipaksakan dari luar, ia tumbuh secara organik dari individu-individu yang telah berdaulat (Tahap 1) dan menjalankan kewajiban timbal baliknya (Tahap 2).