Tahap 3: Ka-Bangsaan (Integritas Kolektif)

Setelah membangun kesadaran diri (Tahap 1) dan etika sosial (Tahap 2), perjalanan berlanjut ke integritas kolektif. Konsep KA-BANGSAAN ANU BULEUD (Kebangsaan yang Utuh/Bulat) bukanlah nasionalisme politik yang sempit, melainkan sebuah INTEGRITAS ONTOLOGIS—kesetiaan pada hakikat, wujud, dan fungsi sejati diri kita, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Analogi utamanya adalah DIRI SAKUJUR (seluruh tubuh). Tangan, kaki, mata, dan mulut memiliki rupa dan fungsi yang berbeda (BHINNEKA), namun semuanya bergerak dalam kesatuan yang harmonis karena dihidupi oleh satu kesadaran (KURING) yang sama (TUNGGAL IKA). Demikian pula, keragaman suku dan budaya merupakan organ-organ dari satu tubuh bangsa yang dihidupi oleh satu jiwa ke-Indonesia-an.

Bangsa yang kehilangan jati dirinya, yang hanya meniru bangsa lain, diibaratkan seperti "HAYAM KONGKORONGOK MERI" (ayam yang berkokok seperti bebek). Ia telah kehilangan keunikan dan kedaulatan jiwanya.


SEBELAS PILAR PERADABAN KAMANUSAAN

Sebuah bangsa yang utuh (BULEUD) berdiri di atas pilar-pilar peradaban yang kokoh. Ini adalah cetak biru arsitektur peradaban yang utuh, bergerak dari fondasi komunikasi hingga puncak kesadaran spiritual:

Pilar Deskripsi Singkat
1. Bahasa Benang merah pemersatu jiwa kolektif. Medium pewarisan nilai dan penanda identitas yang paling hakiki.
2. Aksara Jejak abadi pengetahuan. Tidak only tulisan formal, tapi juga "aksara simbolik" seperti SAJEN (sesaji) yang berfungsi sebagai "kitab hidup" atau "bahasa buana".
3. Tatanan Pribadi Fondasi karakter bangsa, bertujuan melahirkan MANUSIA PARIPURNA (Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer) yang telah menemukan KURING (Diri Sejati).
4. Tatanan Keluarga Rahim kebudayaan dan sekolah pertama peradaban, tempat anak mengenal adat dan nilai melalui keteladanan.
5. Tatanan Sosial Harmoni dalam kebersamaan (Gotong Royong, Musyawarah) yang berlandaskan etika welas asih universal (Tahap 2).
6. Seni Ekspresi keindahan (Ka-endahan) jiwa kolektif. Medium untuk menyampaikan identitas, spiritualitas, dan narasi sejarah (contoh: Wayang).
7. Ekonomi Kesejahteraan berbasis kearifan lokal dan keadilan sosial. Berpihak pada kaum tertindas dan selaras dengan alam (contoh: Leuit/Lumbung Padi).
8. Politik Tata kelola berlandaskan kesadaran diri (Tahap 1) dan musyawarah (Tahap 4). Cerminan dari tata kelola diri yang baik.
9. Filsafat Kompas peradaban. Puncaknya adalah trilogi sakral KAMI-KAMA-NUSA (Aku Sejati - Esensi Kehidupan - Tanah Air/Tubuh), yang menyatukan Diri, Kehidupan, dan Bangsa.
10. Pengetahuan Warisan kearifan (ETHNOSCIENCE) yang bersumber dari "kitab suci yang terbuka", yaitu alam semesta itu sendiri.
11. Keyakinan Sumber dari semua pilar. Pengalaman GNOSIS langsung akan KA-TUHANAN (Tahap 1) yang imanen dan bersifat universal, melampaui sekat agama formal.

PANCA BYAPARA: KESATUAN MANUSIA DAN ALAM

Fondasi filosofis dari tatanan kebangsaan ini adalah PANCA BYAPARA, sebuah konsep dari SSK yang menyatakan bahwa manusia adalah sebuah mikrokosmos—cerminan miniatur dari alam semesta (makrokosmos). Tubuh manusia terbentuk dari lima elemen inti yang sama dengan alam:

  • Pretiwi (Tanah/Bumi) menjadi kulit dan daging.
  • Apah (Air) menjadi darah dan cairan tubuh.
  • Teja (Api/Cahaya) menjadi panas tubuh dan cahaya mata.
  • Bayu (Angin) menjadi napas dan tenaga.
  • Akasa (Ruang/Eter) menjadi rongga-rongga dalam tubuh.

Kesadaran ini melahirkan ETIKA EKOLOGIS yang inheren. Merusak alam (Nusa) pada hakikatnya adalah tindakan merusak diri sendiri (Raga/Kurung). Ini adalah wujud tertinggi dari KA-BANGSAAN: kesadaran bahwa kita adalah satu kesatuan tak terpisahkan dengan tanah air yang kita pijak.