Tahap 4: Ka-Rakhayatan (Musyawarah Batin)

Inilah tahap yang paling sering disalahpahami. Setelah membangun integritas jati diri (Tahap 3), perjalanan berlanjut ke proses deliberasi. Namun, dalam konteks PANCASILA DASAR SALIRA, proses ini dimulai dari dalam diri.

Secara etimologis, Mei Kartawinata mengurai KA-RAKHAYATAN menjadi RAKH (Darah) dan HAYAT (Kehidupan). Rakyat bukanlah objek yang diperintah, melainkan "darah kehidupan" yang menjadi urat nadi negara. Tanpa rakyat yang berdaulat, negara hanyalah kerangka kosong.

Kedaulatan ini—seperti semua tahap lainnya—dimulai dari individu (KURING NYARING / "Aku yang Sadar").


DELIBERASI INTERNAL: HAKIKAT SILA KE-4

Pemahaman PDS terhadap Sila 4 secara radikal berbeda dari tafsir politik yang umum. "Musyawarah" dalam konteks ini bukanlah rapat formal di gedung parlemen.

Sebaliknya, ia adalah "proses deliberasi internal di dalam kesadaran yang tercerahkan ini untuk mencapai mufakat batin". Ini adalah 'Musyawarah Batin' yang terjadi di dalam Salira (Diri) setiap individu yang telah menjalani Tahap 1, 2, dan 3.

Lambang Banteng pun ditafsirkan ulang secara esoteris. Ia bukanlah simbol kekuatan massa yang buta. Banteng adalah lambang dari:
"Pikiran nu sae tur liar" (Pikiran yang baik dan "liar").

Liar di sini berarti kreatif, kuat, tak terjinakkan oleh dogma, dan tak henti-hentinya mencari jalan keluar (solusi) demi keselamatan bersama. Ini adalah "Banteng" di dalam batin kita—daya cipta Kuring (Aku Sejati) yang berdaulat—yang melakukan musyawarah internal untuk kemaslahatan.

Demokrasi sejati, menurut PDS, bukanlah prosedur politik, melainkan buah dari individu-individu yang telah berdaulat atas dirinya sendiri (Kuring Nyaring), yang kemudian menggunakan seluruh daya cipta (Banteng) batinnya untuk kebaikan kolektif.


BUAH EKSTERNAL: TRI TANGTU DI BUANA (Resi, Ratu, Rama)

Setelah—dan hanya setelah—individu-individu mencapai 'mufakat batin' melalui Sila 4 internal ini, barulah sebuah tatanan kolektif (eksternal) yang adil dapat terwujud. Tatanan eksternal ini adalah cerminan dari keseimbangan internal.

Kearifan Sunda telah memiliki formula untuk tatanan kolektif yang berdaulat ini, yang disebut TRI TANGTU DI BUANA (Tiga Ketentuan di Dunia). Ini adalah manifestasi eksternal dari Musyawarah Batin yang berhasil:

  1. RESI (Pilar Kebijaksanaan / Yudikatif):
    • Perwujudan dari "Pikiran nu Sae" (Pikiran yang Baik). Mereka adalah penjaga moral, hukum kosmis, dan nurani negara. Sifatnya NGAGURAT CAI (Menggores Air)—jernih, adil, fleksibel, dan selalu kembali ke keseimbangan.
  2. RATU (Pilar Pemerintahan / Eksekutif):
    • Perwujudan dari "Pikiran nu Liar" (Daya Cipta yang Kuat). Mereka adalah pelaksana pemerintahan dan penegak hukum. Sifatnya NGAGURAT BATU (Menggores Batu)—tegas, pasti, dan menciptakan kepastian hukum yang kokoh.
  3. RAMA (Pilar Kemasyarakatan / Representasi Rakyat):
    • Perwujudan dari "Rakh-Hayat" (Darah Kehidupan). Mereka adalah representasi rakyat, penggerak ekonomi, dan sumber kemakmuran. Sifatnya NGAGURAT LEMAH (Menggores Tanah)—produktif, fungsional, dan memberi kehidupan.

Dengan demikian, Sila 4 adalah proses pendakian dari deliberasi internal (Musyawarah Batin) yang melahirkan tatanan eksternal yang seimbang (Tri Tangtu). Alur ini secara logis mempersiapkan kita untuk Tahap 5, di mana keseimbangan internal itu mencapai puncaknya.